Kerentanan terhadap ideologi ekstrem adalah isu kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik psikologis maupun biologis. Meskipun faktor biologis masih menjadi area penelitian yang berkembang, ada beberapa hipotesis dan temuan awal yang menarik.
Berikut adalah penjelasan mengenai alasan psikologis dan biologis mengapa beberapa orang mungkin lebih rentan terhadap ideologi ekstrem:
A. Alasan Psikologis:
1. Kebutuhan Psikologis yang Tidak Terpenuhi:
- Pencarian Identitas: Remaja dan dewasa muda yang sedang dalam krisis identitas atau merasa "hilang" mungkin mencari rasa memiliki dan tujuan dalam kelompok ekstremis. Ideologi ekstrem dapat menawarkan identitas yang kuat dan rasa komunitas yang intens.
- Kebutuhan Akan Makna dan Tujuan: Ideologi ekstrem seringkali menawarkan narasi yang jelas tentang dunia, musuh, dan solusi, memberikan individu rasa makna dan tujuan hidup yang mungkin tidak mereka temukan di tempat lain.
- Rasa Tidak Berdaya dan Ketidakadilan: Individu yang merasa termarginalisasi, tidak berdaya, atau menjadi korban ketidakadilan (sosial, ekonomi, politik) dapat tertarik pada ideologi yang menawarkan penjelasan sederhana untuk masalah mereka dan janji untuk mengoreksi ketidakadilan tersebut, bahkan melalui kekerasan.
- Pencarian Status dan Pengakuan: Bagi sebagian orang, bergabung dengan kelompok ekstremis dapat memberikan rasa status, kekuatan, dan pengakuan yang tidak mereka dapatkan dalam kehidupan normal mereka.
2. Karakteristik Kepribadian:
- Kepribadian Narsistik dan Psikopati: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian gelap seperti narsisme dan psikopati (kurangnya empati, manipulatif, kecenderungan kekerasan) dapat berkorelasi dengan kerentanan terhadap ideologi ekstrem. Individu dengan ciri-ciri ini mungkin tertarik pada ideologi yang membenarkan kekerasan dan dominasi.
- Fanatisme dan Intoleransi: Individu yang secara alami memiliki kecenderungan fanatik dan intoleran terhadap pandangan berbeda, serta memiliki keyakinan yang kaku dan tidak tergoyahkan, lebih mudah terpapar ideologi ekstrem.
- Rendahnya Kontrol Diri (Self-Control): Kurangnya kemampuan untuk mengendalikan emosi dan impuls dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap propaganda ekstremis yang memprovokasi kemarahan dan kebencian.
- Pemikiran Hitam-Putih: Kecenderungan untuk melihat dunia dalam kategori yang jelas (baik vs. buruk, kami vs. mereka) dan kurangnya kemampuan berpikir kritis dapat membuat seseorang mudah menerima narasi ekstremis yang menyederhanakan masalah kompleks.
- Kebutuhan Akan Kognitif Tertutup (Need for Cognitive Closure): Beberapa orang memiliki kebutuhan yang tinggi akan jawaban yang pasti dan menghindari ambiguitas. Ideologi ekstrem seringkali menawarkan jawaban yang pasti dan sederhana untuk masalah-masalah kompleks, menarik bagi individu dengan kebutuhan ini.
3. Faktor Kognitif:
- Distorsi Kognitif: Individu yang rentan mungkin memiliki pola pikir yang terdistorsi, seperti kecenderungan untuk menyalahkan orang lain, membenarkan kekerasan, atau melihat diri mereka sebagai korban.
- Kurangnya Kemampuan Berpikir Kritis: Ketidakmampuan untuk menganalisis informasi secara objektif dan membedakan antara fakta dan propaganda membuat seseorang rentan terhadap doktrin ekstremis.
- Pemahaman Agama yang Sempit/Tekstualis: Dalam konteks ekstremisme keagamaan, pemahaman agama yang kaku, literal, dan tidak mempertimbangkan konteks sejarah atau pluralitas penafsiran dapat menjadi pemicu.
4. Pengaruh Sosial dan Lingkungan:
- Isolasi Sosial dan Keterasingan: Individu yang merasa terisolasi atau tidak memiliki dukungan sosial yang kuat lebih mudah dicari dan direkrut oleh kelompok ekstremis yang menawarkan rasa kebersamaan.
- Paparan Propaganda: Paparan terus-menerus terhadap narasi ekstremis, terutama melalui media sosial, dapat secara bertahap meradikalisasi seseorang.
- Pengaruh Tokoh Karismatik: Kehadiran pemimpin atau mentor karismatik yang menyebarkan ideologi ekstrem dapat sangat memengaruhi individu yang sedang mencari arah.
- Lingkungan yang Radikal: Hidup dalam lingkungan di mana ideologi ekstrem diterima atau bahkan didukung dapat menormalisasi pandangan tersebut.
B. Alasan Biologis (Area Penelitian yang Lebih Baru dan Masih Hipotetis):
Meskipun sebagian besar penelitian tentang ekstremisme berfokus pada faktor psikologis dan sosiologis, ada beberapa hipotesis dan penelitian awal yang mengeksplorasi peran faktor biologis:
1. Neurobiologi dan Fungsi Otak:
- Amigdala dan Respons Emosional: Amigdala adalah bagian otak yang terlibat dalam pemrosesan emosi, terutama ketakutan dan agresi. Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa perbedaan dalam struktur atau fungsi amigdala dapat memengaruhi respons seseorang terhadap ancaman atau provokasi, yang berpotensi berkontribusi pada kecenderungan agresif atau reaktif terhadap ideologi tertentu.
- Korteks Prefrontal dan Kontrol Impuls: Korteks prefrontal terlibat dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan kontrol impuls. Gangguan atau perbedaan dalam fungsi area ini dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk menahan diri dari tindakan impulsif atau agresif, yang mungkin relevan dalam konteks kekerasan ekstremis.
- Neurotransmiter: Keseimbangan neurotransmiter seperti serotonin (berhubungan dengan suasana hati dan agresi) dan dopamin (berhubungan dengan motivasi dan penghargaan) dapat memengaruhi kecenderungan perilaku. Ketidakseimbangan tertentu mungkin membuat individu lebih rentan terhadap perilaku impulsif atau pencarian sensasi yang ekstrem.
2. Genetika:
- Predisposisi Genetik untuk Sifat Kepribadian: Meskipun tidak ada "gen ekstremisme," penelitian menunjukkan bahwa ada komponen genetik pada sifat-sifat kepribadian tertentu seperti agresi, impulsivitas, atau pencarian sensasi. Individu yang secara genetik predisposisi terhadap sifat-sifat ini mungkin memiliki ambang batas yang lebih rendah untuk terlibat dalam perilaku ekstrem, terutama jika dipicu oleh faktor lingkungan dan psikologis yang sesuai.
- Epigenetika: Faktor lingkungan (trauma, kemiskinan, kekerasan) dapat memengaruhi ekspresi gen tanpa mengubah kode DNA itu sendiri (epigenetika). Perubahan epigenetik ini dapat memengaruhi bagaimana otak berkembang dan berfungsi, berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap kondisi psikologis yang terkait dengan ekstremisme.
3. Faktor Fisiologis Lainnya:
- Hormon: Fluktuasi atau tingkat hormon tertentu (misalnya, testosteron atau kortisol) juga telah dikaitkan dengan agresi dan respons stres, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi kerentanan seseorang terhadap ideologi yang membenarkan kekerasan.
Penting untuk dicatat bahwa faktor biologis ini tidak bekerja secara terpisah. Mereka berinteraksi kompleks dengan faktor psikologis, sosial, dan lingkungan. Seseorang dengan predisposisi biologis tertentu mungkin tidak akan menjadi ekstremis kecuali mereka juga terpapar pada kondisi lingkungan dan psikologis yang mendukung radikalisasi.
Memahami interaksi antara faktor-faktor ini sangat penting untuk mengembangkan strategi pencegahan dan deradikalisasi yang efektif. Pendekatan yang komprehensif perlu mempertimbangkan dimensi psikologis, sosial, ekonomi, dan potensi dimensi biologis dalam kerentanan individu terhadap ideologi ekstrem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar